Laman

Minggu, 30 Oktober 2011

Penekanan Kinerja BRTI

Fokus pada badan regulator independen di Indonesia belum dapat dikatakan maksimal. BRTI merupakan badan regulator independent yang diharapkan pada akhirnya menjadi suatu Badan Regulasi yang ideal. Namun dalam prakteknya, BRTI masih jauh dari harapan.

Kasus Pencurian pulsa yang terjadi sekitar 2 tahun terakhir menjawab eksistensi kinerja BRTI,  Dalam menghadapi kasus ini BRTI terlihat sangat datar, tidak tegas, dan terkesan ‘pilih aman’. Meski BRTI mengaku telah menindak sejumlah CP, namun kenyataannya tindakan tegas belum benar-benar  terlihat.
 BRTI sepenuhnya memihak pada masyarakat sebagai korban dan men-judge bahwa semua CP (Content Provider) di Indonesia melakukan praktek pencurian pulsa. Padahal tidak ada kepastian jika semua CP melakukan kecurangan yang sama.

Kasus pencurian pulsa yang baru dilaporkan sekitar oktober 2011 ini, menarik perhatian sejumlah pihak. Diantaranya adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan sebagainya.
Melihat perhatian dari sejumlah pihak, BRTI seharusnya bisa jauh lebih menampakkan jati dirinya sebagai Badan Regulasi yang bertanggung jawab.

BRTI juga seharusnya bisa lebih tegas dalam mengambil keputusan dan tindakan. BRTI bisa saja menutup CP bermasalah dan menertibkan serta mengawasi CP lain dalam kinerja operasinya agar tidak terjadi kasus serupa dikemudian hari.

Menurut UU pasal 27 No.36 tahun 1999 Menyatakan bahwa Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika BRTI melakukan pengawasan dan menetapkan ketentuan biaya dengan semestinya, maka kasus kecurangan yang dilakukan oleh content provider tidak akan terjadi.
Kasus yang terjadi saat ini membuktikan bahwa kinerja BRTI sangat pasif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar