Laman

Senin, 17 Oktober 2011

Psikologi Wanita


Sikap wanita biasanya dipenuhi berbagai paradoksal. Ia ingin tetapi tidak ingin, suka tetapi benci, dan melawan tapi pasrah. Faktor paradoksal psikis itu semakin mempersulit tugas suami dan membuat  “kelihaian” menjadi syarat dasar bagi sebuah perkawinan yang berhasil.

Wanita memang menggantungkan harapannya kepada pernikahan. Jika mengalami kejenuhan, penderitaan, penantian, dan frustasi maka pemberontakannya terhadap perkawinan segera beralih ke sang suami. Jika wanita tidak mampu menyelesaikan problemnya dengan air mata, keluhan, dan pertengkaran maka ia akan menggunakan senjata “kecemburuan” atau menghancurkan keluarga.

Pendapat yang mengatakan bahwa wanita selalu dirundung duka cita dan kehidupannya merupakan rangkaian proses menunggu, yakni menunggu cinta, menunggu perkawinan, menunggu kelahiran anak, menunggu sebab kehidupan dan legitimasi keberadaannya dari sang suami, maka kami memandang pendapat itu sebagai proses penenggelaman yang tidak memiliki pembenaran sama sekali dan sesuatu yang sangat berlebihan dengan tujuan untuk memperburuk potret kehidupan rumah tangga.

Tidak ada kata-kata yang lebih menunjukkan akan pentingnya sifat keibuan dalam kehidupan wanita dari syair yang dilantunkan seorang penyair Polandia :

Hati wanita bagaikan lubang pohon
Jika tidak diisi cinta dan kasih sayang keibuan
Maka ia akan berubah menjadi sarang ular

Helen Deutsch berpendapat bahwa cinta ibu tidak bersifat instinktif tetapi bersifat emosional atau keadaan yang bersifat afektif. Karena itu, cinta ibu tidak selalu berkaitan dengan kehamilan. Bisa saja seorang wanita menampakkan perasaan keibuan kepada anak angkat atau anak tiri.

Jika problem-problem yang berkaitan dengan fungsi pertumbuhan pada wanita merupakan problem kompleks yang tidak terbatas, maka mungkin problem kemandulan adalah problem yang paling penting dan patut mendapatkan prioritas perhatian. Tidak diragukan bahwa kemandulan disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat organik, yaitu hormon yang dapat diatasi melalui berbagai metode kedokteran modern. Tetapi yang terlihat bahwa faktor psikis seiring sejalan dengan faktor yang bersifat organik, dan ketidakmampuan wanita untuk melahirkan seringkali akibat dari berbagai faktor psikologis yang menimbulkan keresahan.

Ada sejumlah wanita yang masih mempertahankan sifat kekanak-kanakan selama masa berumah tangga, baik dari sisi fisiologis atau sisi psikologis. Wanita semacam ini masih membutuhkan pribadi tempat bergantung baik ibu, nenek, atau mertua. Tetapi pada gilirannya, ketidakmatangan fisik dan psikis tanpa disadari akan membuatnya butuh akan anak.

Jika mengkaji keadaan wanita selama masa kehamilan, maka kita akan menyimpulkan bahwa pada masa ini setiap wanita memperlihatkan sejumlah faktor afektif lama dan sejumlah bentuk konflik psikis lama. Semua itu dengan cepat diikuti oleh berbagai gejala fisik lainnya, dimana setiap wanita pada masa ini memiliki gejala kehamilan tertentu, baik secara fisik maupun psikis. Barangkali diantara kita dapat melihat bahwa gejala sakit yang merupakan gejala fisik tertentu pada wanita hamil, kadang-kadang diikuti oleh rasa mual yang selalu ada pada anak gadis sejak masa anak-anak tanpa mampu mengungkapkan dirinya di luar.

Profesor Stekel mengatakan, “sesungguhnya muntah wanita hamil pada situasi tegang merupakan simbol penolakan terhadap anak. Tatkala penantian wanita akan kelahiran anak disertai sikap agresif karena wanita tidak banyak tahu tentang masalahya maka gangguan usus besar pasti akan berlipat ganda.

Jika masa kehamilan bagi kehidupan wanita merupakan masa penantian yang penuh kebahagiaan maka ia pun merupakan masa berangan-angan, dan mengkhayal. Pada saat itu, ketakutan masa kanak-kanak mulai muncul. Masa wanita yang hamil menganggap dirinya sedang menyimpan seorang “tokoh” di dalam perutnya atau anaknya yang akan lahir tampil sebagai sosok idealnya, atau ia mengkhayalkan anaknya akan menjadi miniatur ayahnya dan lain-lain.

Jika proses melahirkan hanya membutuhkan tiga jam atau seharian penuh, maka itu disebabkan karena sikap wanita terhadap proses itu berbeda-beda sesuai dengan watak psikis dan kondisinya secara umum.

Para ahli berbeda pendapat tentang gejala masa menopause. Sebagian ahli berpendapat bahwa masa menopause memiliki niai kepentingan yang besar dalam kehidupan wanita, karena masa ini menimbulkan berbagai gangguan psikis yang krusial.

Ciri fisiologis masa menopause adalah terputusnya sirkulasi haid, terhentinya pembentukan indung telur, melemahnya organ reproduksi, dan munculnya gejala-gejala penuaan di beberapa bagian tubuh.

Sebagian orang mengatakan bahwa masa menopause adalah masa kritis, karena perubahan hormon yang terjadi pada tubuh wanita menimbulkan pengaruh psikologi, dan biasanya menimpa wanita pada usia 45 atau 50 tahun.

Masa ini ditandai dengan terjadinya gangguan pada sirkulasi bulanan  yang disertai kondisi tubuh berkeringat, membatasi diri, gampang marah, dan rasa minder. Wanita pada masa ini mengalami proses biologis yang bersifat internal sebelum mengalami perubahan-perubahan fisik yang bersifat eksternal.

Pada diri wanita muncul semacam konflik dalam mempertahankan kewanitaannya sampai menjelang terjadinya stagnasi pada organ reproduksinya. Akibatnya, kegiatan wanita semakin berlipat ganda dan kegiatan itu mengarah kepada pusat-pusat yang mengancam ego.

Berbagai perubahan yang terjadi pada wanita menopause adalah haid terputus total, kantong de jiraf tidak lagi terbuka, dan membran lrahim tidak lagi membaru, kemudian kedua indung telur tidak lagi keras, sehingga organ reproduksi wanita berakhir. Selain itu perubahan lain terjadi pada kelenjar, sehingga lemak dibawah kulit semakin menebal dan rambut tumbuh dengan lebat, terutama diatas bibir, pipi, dan bagian sekitar perut.

Demikianlah, masa menopause menjadi batas pemisah antara dua masa penting dari kehidupan wanita, yaitu masa berhias serta mempercantik diri dan masa beribadah juga istighfar. Ketika wanita melihat ke masa lalunya yang jauh, ia melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang remeh dan singkat. Sementara ketika melihat ke masa depan, ia melihat keabadian tanpa batas.

 Apapun yang terjadi, berakhirnya fungsi reproduksi pada wanita tidak berarti kematian perasaan keibuan pada dirinya. Karena ketika berubah menjadi nenek, ia terdorong untuk berperan sebagai “ibu penolong” sebagaimana yang ia lakukan terhadap ibunya ketika kanak-kanak. Jadi sifat keibuan adalah pengalaman dinamis yang dialami wanita ketika masa kanak-kanak, masa puber, masa menjadi ibu, dan masa menjadi nenek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar